Selasa, 30 November 2010

EGFR

MEKANISME MOLEKULER OBAT ANTI EGFR (EPIDERMAL GROWTH FACTOR RECEPTOR)

A. EGFR : Struktur, Fungsi, Aktivasi dan Signaling

Growth factor merupakan hormon yang disekresikan secara lokal, yang terlibat atau bertanggung jawab terhadap regulasi proliferasi, diferensiasi dan survival dari sel normal. Reseptor growth factor ini termasuk ke dalam tipe reseptor tirosin kinase (RTK) yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan berbagai bagian sel. Jika suatu growth factor berikatan pada reseptornya, akan memicu serangkaian peristiwa molekuler yang berujung pada transkripsi gen, dimana transkripsi gen ini selanjutnya akan memicu sintesis protein terrtentu yang dibutuhkan dalam berbagai proses dalam sel yang terkait dengan pertumbuhan dan proliferasi sel.

Salah satu reseptor growth factor adalah epidermal growth factor receptor (EGFR). EGFR merupakan anggota dari keluarga human epidermal receptor (HER), suatu reseptor permukaan sel yang berperan penting sebagai mediator pertumbuhan sel, diferensiasi dan survival serta proliferasi. EGFR merupakan glikoprotein 170 kDa yang terdiri dari 3 domain fungsional yaitu domain ligan ikatan ekstraseluler, domain transmembran hidrofilik dan domain tirosin kinase sitoplasmik (Gb.1). terdapat empat tipe reseptor ini, yaitu: EGFR (HER 1/erb-1), HER2 (erbB-2/neu), HER3 (erbB-3) dan HER4 (erbB-4). Setiap reseptor berikatan dengan ligan yang berbeda-beda. Terdapat tujuh ligan yang berbeda secara genetik seperti EGF, TGF-α, Heparin-binding EGF, amphitegulin, β-cellulin, dan epiregulin yang mampu berikatan dengan EGFR.

Gambar 1. Empat keluarga EGFR beserta ligan spesifiknya. Angka (sebagai persentase) menunjukan tingkat homologi relatif terhapat ErB1/EGFR. Dengan perkecualian kinase-deficient Erb3 karena terdapat tingkat homologi yang tinggi dalam domain tirosin kinase.

Ujung N terminal dari bagian ekstraseluler EGFR dapat berikatan dengan ligan seperti EGF, TGF- α dan amphiregulin. Ikatan ini menyebabkan terjadinya dimerisasi antara keluarga reseptor EGFR yang sama (homodimerisasi) ataupun antara keluarga reseptor EGFR yang berbeda (heterodimerisasi). Dimerisasi reseptor mengaktivasi daerah tirosin kinase intraseluler yang menyebabkan terjadinya autofosforilasi dan menginisiasi rentetan peristiwa intraseluler.

Efek dari peristiwa ini adalah rekruitmen dan fosforilasi dari beberapa substrat intraseluler yang diperantarai oleh molekul adaptor yang berikatan pada daerah phosphotirosin spesifik pada molekul reseptor. Jalur signaling utama yang dilalui adalah jalur Ras-Raf-MAPK. Induksi jalur ini akan menstimulasi rentetan fosforilasi yang melibatkan aktivasi MAPKs, ERK1, dan ERK2. ERK1 dan ERK2 meregulasi transkripsi molekul yang berhubungan dengan proliferasi, migrasi, adesi, survival dan mutasi.

Jalur atau target lain dari aktivasi reseptor EGFR adalah P13K yang akan melibatkan protein downstream serine/threonine kinase Akt merupakan signal pemacu yang mengontrol berbagai macam proses biologi yang berbeda, seperti pertumbuhan dan proliferasi, aktifasi genic dan apoptosis. Selain jalur Ras-Raf-MAPK dan P13K-Akt, target lain dari aktivasi reseptor ini adalah jalur protein kinase yang diaktivasi stress, termasuk protein kinase C dan Jak/Stat. Aktivasi jalur ini akan menyebabkan program transkripsi yang memediasi pembelahan sel, motilitas, invasi, adesi, perbaikan seluler dan survival atau kematian.

Gambar 2. Ilustrasi skematik jalur EGFR dan pengaruhnya terhadap sel dan jaringan. Lokasi inhibitor EGFR dapat ditempati monoklonal antibodi (mAbs) dan tyrosine kinase inhibitors (TKIs).

Efek aktivasi EGFR pada sel tumor adalah beragam, meliputi pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, peningkatan mobilitas, proliferasi sel, invasi, metastasis, penurunan kemampuan apoptosis serta stimulasi angiogenesis. Overekspresi EGFR terjadi pada kanker kandung kemih, otak, payudara, serviks, uterus, kolon, esogafus, ovarium dan paru non-small-cell.

EGFR merupakan target rasional dalam strategi antitumor, terdapat 2 jenis inhibitor EGFR yang dikembangkan yaitu: 1. Monoklonal antibodi (mAbs) yang ditujukan terhadap domain ekstraseluler reseptor, 2. Tirosin kinase inhibitor yang ditujukan terhadap domain intraseluler reseptor.

Monoklonal antibodi (mAbs) bereaksi terhadap EGFR melalui mekanisme:

- Ikatan ekstraseluler

- Internalisasi kompleks reseptor antibodi

- Inhibisi jalur sinyal EGFR

- Meningkatkan stimulasi respon imunologis

Tyrosin kinase inhibitor (TKIs) langsung bereaksi terhadap EGFR melalui mekanisme sebagai berikut :

- Ikatan intraseluler

- Mencegah aktivasi tirosin kinase

- Inhibisi jalur sinyal EGFR

Gambar 3. Dua pendekatan mekanisme penghambatan EGFR. (A) Antibodi Monoklonal berlawanan secara langsung berikatan pada EGFR pada domain ekstraselular, memblok ikatan pada ligan dan menginaktifkan reseptor. (B) Small-molekul inhibitor berikatan secara langsung pada domain tirosin kinase EGFR dan menghambat aktivitasnya. Kedua pendekatan ini menghasilkan efek pleotropik yang menghambat pertumbuhan tumor dan metastase

B. Inhibitor mAbs Terhadap EGFR (Cetuximab)

Anti-EGFR antibodi monoklonal mengikat domain eksternal dari EGFR dan memblock ikatan pada ligan endogenus pada EGFR, dan kemudian mencegah tranduksi signal pada tirosin kinase (Gambar. 3A).

Penelitian paling luas mengenai mAbs anti EGFR adalah Cetuximab, yang dikenal seebagai IMC-25 atau C225, suatu mAb chimeric yang dirancang khusus menghambat EGFR. Cetuximab telah disetujui penggunaannya oleh FDA untuk pengobatan kanker kolorektal yang tidak respon terhadap irinotecan.

Antibodi chimeric ini dikembangkan dengan mengkombinasi berbagai regio prekursor antibodi tikus (mAb 225) dengan regio konstan imunoglobulin G1 manusia untuk mengurangi reaksi imunologi pasien. Cetuximab sangat spesifik untuk EGFR dan menyebabkan internalisasi reseptor dan down regulation. Efek menghambat proliferasi sel tumor tergantung dosis. Inhibisi proliferasi sel ini menyebabkan siklus sel terhenti pada fase G1 dan atau meningkatkan apoptosis.

Mekanisme lain inhibisi pertumbuhan tumor adalah antiangiogenesis. Cetuximab menghambat produksi VEGF (Vascular epithelial growth factor) sel karsinoma epidermois, sehingga mengurangi jumlah pembuluh darah tumor, down regulation VEGF, interleukin 8 dan ekspresi bEGF (basic fibroblast growth factor) pada xenograf tumor. Cetuximab juga menghambat pertumbuhan serta metastasis tumor 253j B-V dan tumor prostat manusia.

Cetuximab diberikan secara intravena dengan dosis 200-400/m2 dan memiliki waktu paruh 114 (75-188 jam, sehingga memungkinkan diberikan setiap minggu. Mekanisme kinetik obat ini belum diketahui secara pasti dan bersihan sistemik terjadi secara lengkap. Untuk menilai efikasi dilakukan percobaan fase 2 cetuximab + irinotecan pada pasien kanker kolorektal yamg refrakter terkadap irinotecan (n=121), hasilnya menunjukkan respon sebagian pada 23 % pasien dan sedikit respon atau sstabil pada 31 pasien. Dari total 138 pasien yang dilaporkan rata-rata respon lengkap adalah 15 % dan median durasi respon 6,5 bulan.

Di Amerika serikat telah dilakukan percobaan fase II (the EPIC study menggunakan cetuximab + irinotecan vs irinotecan, sebagai pengobatan lini kedua pada pasien kanker kolorektal metastasis dengan EGFR positif. Juga telah dilakukan penelitian fase III (the EXPLORE study) yang melibatkan pasien kanker kolorektal metastasis dengan ekspresi EGFR positif. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi cetuximab sebagai kombinasi dengan 5FU/leukovorin (LV) dan oxaliplatin (FOLVOX) yang dibandingkan dengan pemberian oxaliplatin.

Saltz dkk, memberikan kombinasi cetuximab dan irinotecan pada pasien kanker kolorektal lanjut yang tidak respon terhadap irinotecan. Hasilnya 19% pasien mengalami perbaikan ukuran tumor secara radiologis. Untuk menentukan apakah efek anti tumor ini akibat efek sinergis kedua obat tersebut atau aktivitas independen cetuximab, 60 pasien yang sama hanya diterapi dengan cetuximab, dari evaluasi radiografi 10 % tterdapat regresi tumor yang bermakna.

Pengalaman tersebut dikaji ulang oleh Cunningham dkk, yang secara acak melakukan percobaan pada 329 pasien dengan kanker kolorektal lanjut yang refrakter terhadap irinotecan (tabel 1). Hasil penelitian ini hampir identik, regresi pada 23 % pasien yang mendapat terapi kombinasi dan 11 % pada yang mendapat cetuximab tunggal. Efek samping cetuximab biasanya ringan seperti rash seperti jerawat, kulit kering dan fisur.

Tabel 1. Percobaan terapi pada kanker kolorektal

C. Tyrosin Kinase Inhibitor (TKIs) (Gefitinib)

Jalur EGFR dapat pula di block dengan agen farmakologis yang menghambat secara spesifik komponen downstrean yaitu EGFR-Tirosin kinase. Small-molekul tirosin kinase inhibitor (SMTKIs) melintasi membran sel dan mengikat enzim tirosin kinase, kemudian secara langsung mengblok downstream signal. Jalur transduksi signal yang terblok tanpa melihat apakah pacuannya eksternal atau internal, akan mengeliminasi proses downstream termasuk proliferasi seluler, angiogenesis dan metastasis (gbr 3B).

TKIs merupakan sintesis derivat quinazolin, berat molekul rendah yang berinteraksi dengan beberapa reseptor domain tirosin kinase intraseeluler termasuk EGFR, dan menghambat fosforilasi reseptor yang diinduksi ligan melalui kompetisi pada tempat ikatan ATP.

Gefitinib yang dikenal sebagai ZD1839 telah mendapat pengakuan dari 18 negara, termasuk USA, Kanada, Jepang dan Australia. Gefitinib merupakan bahan aktif oral dengan BM rendah, aniloquiazoline sintetik yang menghambat beberapa reseptor tirosin kinase terutama EGFR. Pada konsentrasi yang lebih tinggi memungkinkan menghentikan aktivitas tirosin kinasee in vivo. Proses ini terjadi sebagai akibat konsentrasi ATP intraseluler yang tinggi.

Gefitinib menunjukkan efek antiproliferatif pada kultur sel tumor dan xenograf tumor manusia, baik sebagai obat tunggal ataupun dalam kombinasi dengan obat sitotoksik atau radioterapi. Penelitian preklinik menunjukkan bahwa gefitinib memiliki efek jalur sinyal intraseluler yang sama seperti mAbs. Gefitinib menghambat pertumbuhan sel kanker manusia in vitro dan in Vivo. Efek gefitinib terjadi melalui penghentian siklus sel dan/atau apoptosis.

Pemberian dosis tunggal hingga 700 mg pada relawan sehat dan pasien dengan keganasan lanjut menghasilkan konsentrasi puncak plasma dicapai pada 3-7 jam, dengan waktu paruh eliminasi kurang lebih 48 jam. Pemberian oral pada pasien kanker menberikan akumulasi 2 kali lipat dibandingkan dengan dosis tunggal, konsentrasi plasma keadaan steady state dicapai dalam 10 hari. Pemberian obat ini secara jangka panjang umunya ditolerir pada dosis hingga 600 mg/hari.

Efek samping yang perlu diwaspadai adalah penyaki paru interstistial, insidensinya mencapai 1 %. Toksisitas pada hepar perlu diwaspadai ditandai dengan peningkatan transaminase serum. Efek lain adalah diare, rash, kulit kering, mual, muntah, pruiritis. Efek samping ini tergantung dosis yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Wood,s Laura. Rationale for The EGFR s a Target For Cancer Therapy. Seminars in oncology Nursing, Vol 18, No 4, Suppl 4 (November), 2002: pp 3-10.

Ciardiello Fortunato,Tortora Giampaolo. EGFR Antagonists in Cancer Treatment. N Engl J Med 2008;358;1160-74.

Cascone T, Ciardiello F. Small Molecule EGFR Tyrosine Kinase inhibitors in non-small cell lung cancer. Annals of Oncology 17 (Supplement 2): ii46-ii448,2006.

Ono Mayumi, Kuwano Michiko . Moleculer Mechanism of EGFR Activation and Response to Gefitinib and Other EGFR-Targeting Drugs. CCR 2006;12 (24) December 15, 2006.

Gridell, Cesare, et al. Erlotonib in Non-Small Cell Lung Cancer Treatment : Current Status and Future Development. The Oncologist 2007;12:840-849 www. TheOncologist.com

Shiqing Li, et al. Structural basis for Inhibition of The EGFR by Cetuximab. Cancer Cell : April 2005 Vol 7

Meyerhardt JA, Mayer R. Systemic Therapy for Colorectal Cancer. N Engl J Med 2005;352: 476-67.

Harari M. EGFR Inhibition Strategies in Oncology. Endocrine-Related Cancer 2004; 11:689-708.